Kaya tapi miskin, miskin padahal kaya
Itulah mungkin gambaran sebagian
besar penduduk pedesaan Indonesia. Banyak dari mereka hidup dalam kemiskinan,
atau malah di bawah garis kemiskinan. Dikutip dari cnnindonesia.com, Kepala BPS
Margo Yuwono menyatakan bahwa total orang miskin di Indonesia mencapai 26,16
juta orang pada Maret 2022. Sebanyak 14,34 juta di antaranya ada di pedesaan
dan sisanya yaitu 11,82 juta orang ada di perkotaan. Sedangkan menurut situs
bps.go.id, persentase penduduk miskin menurut daerah di semester 1 (Maret) 2023
adalah 7,29% berada di perkotaan dan 12,22% ada di pedesaan.
Kemiskinan di pedesaan ini
berdampak langsung salah satunya pada ketahanan pangan masyarakatnya. Ketahanan
pangan itu sendiri adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi masyarakat dari
aspek makanan yang bergizi, aman, bermutu, beragam, terjangkau dan dan tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat. Kemiskinan dan
ketahanan pangan memiliki hubungan sebab akibat yang sangat erat. Karena
miskin, maka masyarakat menjadi rawan pangan atau malah tidak memiliki
ketahanan pangan. Kenapa begitu? Karena pangan harus dibeli.
Sungguh kondisi yang
memprihatinkan, karena di banyak kasus, desa itu sebenarnya kaya. Kaya akan
potensi kekayaan alam, di antaranya adalah tanaman lokal yang belum sepenuhnya diambil
manfaatnya.
Tanaman
lokal ini sebenarnya pada suatu masa yang lalu pernah menjadi bahan konsumsi,
tetapi kini mulai ditinggalkan malah dilupakan. Salah satu sebabnya menurut
Hayu Dyah Patria, adalah masyarakat pedesaan terlanjur berpikir bahwa makanan
modern lebih baik dari makanan mereka sendiri, yang berbahan tanaman lokal.
Makanan modern yang dimaksud di sini yaitu makanan hasil industri misalnya
makanan instan atau processed foods. Dari yang selama ini ditemui oleh
Hayu, sulit sekali membalik pemahaman ini. Yang dipahami oleh masyarakat
pedesaan adalah bahwa makanan yang selama ini mereka konsumsi adalah makanan
rendahan, makanan masyarakat kelas dua.
Lebih lanjut menurut Hayu, propaganda
pangan saat revolusi hijau di tahun 70an juga sedikit banyak bertanggung jawab
atas hal ini, yaitu saat beras diperkenalkan kepada masyarakat dan
digaung-gaungkan sebagai makanannya orang Indonesia. Hingga akhirnya tertanam
paham bahwa belum jadi orang Indonesia kalau belum makan beras/nasi. Sehingga
lalu mereka berpikir bahwa tanaman lokal yang ada di sekitar mereka sendiri
tidak cukup baik, padahal kenyataannya adalah sebaliknya.
Karena itu Hayu berpendapat bahwa
literasi pangan sangatlah penting. Masyarakat pedesaan harus dibukakan matanya
dan diingatkan kembali bahwa ada banyak sekali tanaman di sekitar mereka yang
memiliki nilai gizi tinggi dan sangat baik untuk dikonsumsi. Tanaman yang
tumbuh liar, baik di pekarangan rumah, tepi jalan desa maupun di hutan yang
melingkupi desa.
Omong-omong, siapa itu Hayu Dyah Patria?
Hayu Dyah Patria, Berjuang lewat Tanaman Liar
|
Hayu Dyah Patria, penerima SATU INDONESIA AWARD 2011 Sumber gambar: Youtube BBC News Indonesia |
Dia adalah seorang ahli teknologi pangan lulusan Universitas
Widya Mandala Surabaya yang meneliti manfaat tanaman liar untuk ketahanan
pangan masyarakat pedesaan. Jalan hidup perempuan warga Sidoarjo kelahiran tahun 1981 ini mulai berkelindan dengan tanaman liar di tahun 2004, saat ketika masih menjadi mahasiswa dan meneliti kandungan gizi mangrove.
Sejak tahun 2009, Hayu berkegiatan dengan ibu-ibu di Desa
Galengdowo dan Dusun Mendira, Jombang, Jawa Timur untuk memanfaatkan tanaman
liar sebagai bahan pangan.
Hayu awalnya mendengar bahwa desa-desa ini adalah
daerah-daerah paling miskin di Kabupaten Jombang. Tempatnya terpencil jauh di
atas bukit, jalan menuju ke sana rusak, rumah-rumahnya terbuat dari kayu dan
pekerjaan warganya hanya berkebun saja. Warga desa sering dicibir oleh warna di
luar desa sebagai orang gunung yang miskin. Namun saat Hayu datang sendiri ke
sana, yang dia lihat justru adalah kekayaan alam yang luar biasa melimpah.
Desa-desa ini dikelilingi oleh sumber air bersih yang
mengalir langsung dari gunung, tanah yang gembur dan keanekaragaman hayati yang
menunggu untuk diambil manfaatnya.
Hayu berkenalan dengan ibu-ibu yang ingin memajukan
daerahnya. Dengan memanfaatkan pengetahuannya, Hayu mengajak ibu-ibu berkebun
menanam tanaman-tanaman liar yang awalnya disepelekan.
Saat Hayu bertanya tanaman apa saja yang bisa dimakan,
ibu-ibu desa dengan sigap memberi tahu berbagai nama tanaman seperti sintrong,
pegagan, bayam banci, suwek, gadung dan lain-lain. Dari sekitar 100 nama,
dipilih 40 jenis tanaman yang kemudian dicocok tanam di kebun seluas 3000 meter
persegi.
Hasil kebun ini dimanfaatkan oleh warga desa untuk
dikonsumsi sendiri dan sisanya dijual ke pasar. Tanaman liar juga diolah
menjadi beragam makanan seperti kue, selai dan aneka minuman kesehatan. Warga
desa merasa percaya diri mengonsumsi tanaman liar setelah memahami bahwa
tanaman-tanaman ini sebenarnya memiliki nilai gizi tinggi. Misalnya saja krokot
yang biasanya dijadikan pakan ayam dan jangkrik, kaya akan vitamin A, C, dan
asam lemak omega 3 yang sangat baik untuk kesehatan jantung.
|
Tanaman krokot. Sumber gambar: www.detik.com. |
|
Tanaman jelatang Sumber gambar: www.halodoc.com. |
Jelatang atau lateng yang biasanya dibuang karena bulu-bulu
di bagian batangnya bisa menyebabkan gatal-gatal, ternyata tinggi kandungan
kalsium, vitamin A, C, dan D.
Hayu juga mendirikan organisasi nirlaba Mantasa yang salah
satu kegiatannya adalah melakukan penelitian kandungan gizi tanaman liar. Sudah
lebih dari 400 jenis tanaman liar tercatat bisa dikonsumsi, tetapi tidak
semuanya bisa dimanfaatkan karena sudah jarang ditemukan. Ada sekitar 10 jenis
tanaman liar yang sudah diketahui kandungan nutrisinya. Mereka masih dikonsumsi
tetapi sudah mulai ditinggalkan, seperti tanaman sintrong, rukem dan
sembukan.
Prestasi dan Mimpi Hayu Dyah Patria
Berkat semangat dan kerja kerasnya dalam memajukan ketahanan
pangan desa lewat tanaman liar, Hayu Dyah Patria memperoleh SATU INDONESIA
AWARDS pada tahun 2011. Ini adalah penghargaan bergengsi sebagai apresiasi dari PT ASTRA International Tbk. untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok, yang memiliki
kepeloporan dan melakukan perubahan untuk berbagi dengan masyarakat sekitar di
bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi.
Selain di Jombang, Hayu juga menggagas Lokakarya Literasi
Pangan yang dilaksanakan bersama para pemuda desa di Kampung Adat Saga,
kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Flores, NTT.
Impian Hayu terkait pangan lokal adalah agar masyarakat
menyadari betul potensi luar biasa yang dimiliki oleh desa, lalu masyarakat
desa bangga dengan budaya pangan mereka sendiri sebagai identitas sosial dan
adat mereka yang bisa menjadikan mereka berdaulat pangan dan berdaulat gizi.
Lokakarya-lokakarya yang digagas oleh Hayu di desa-desa membangkitkan kesadaran
masyarakat desa bahwa identitas sosial maupun adat mereka berhubungan erat
dengan alam, pangan, dan sejarah komunitas.
Hayu juga berharap bahwa di masa depan, ibu-ibu pedesaan bisa
lebih mandiri, mampu mengelola dusun, menjaga alam kini dan nanti, karena Hayu yakin
ibu-ibu inilah sebenarnya yang menjadi tulang punggung kedaulatan pangan suatu
bangsa.
#SatuIndonesiaAwards #AnugerahPewartaAstra2023 #HayuDyahPatria #TanamanLiar #KetahananPangan #DesaIndonesia
Daftar pustaka:
https://www.bps.go.id/indicator/23/184/1/persentase-penduduk-miskin-menurut-wilayah.html,
diakses pada 12 September 2023.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220715115822-532-821946/bps-sebut-mayoritas-orang-miskin-ada-di-desa
diakses pada 12 September 2023.
https://www.youtube.com/watch?v=2SdWBbdKYmQ&t=8s
diakses pada 13 September 2023.
https://news.detik.com/bbc-world/d-3212402/ibu-ibu-dusun-di-jombang-jatim-ini-olah-tanaman-liar-jadi-pangan-bergizi
diakses pada 14 September 2023.
https://www.halodoc.com/artikel/lawan-eksim-hingga-lancarkan-asi-ini-5-manfaat-daun-jelatang diakses pada 14 September 2023.
Serta berbagai sumber.