Wednesday, March 21, 2018

Tentang Belajar Menulis : #3 Baca Buku!


Tentang Belajar Menulis: #3 Baca Buku! --  Lho, kita kan mau belajar menulis? Kok malah disuruh baca buku?

Untuk tantangan TOM minggu kedua, Teh Rena meminta kami untuk mencari buku favorit karena kita akan membuat satu tulisan per harinya berdasarkan buku-buku favorit itu. Kalau tidak punya bukunya, bolehlah buku-buku yang kita ingat pernah baca dulu. Kenapa harus buku favorit, ya untuk memudahkan saja, karena biasanya kalau kita suka suatu buku, kita mudah mengingat-ingat isinya.

Maksud dari latihan ini adalah untuk belajar menulis menggunakan referensi, agar tulisan kita lebih berisi dan memiliki dasar pemikiran. Hal ini terutama penting sekali jika kita akan menulis tulisan non-fiksi yang perlu data pendukung atau hasil penelitian.

#1 Judul: Apalah Artinya Nama
Buku sumber inspirasi: Rump, the true story of Rumpelstiltskin

Apalah artinya nama. Bukankah bunga mawar akan tetap indah dan harum, meski namanya bukan mawar? Seseorang dari antah berantah, akan asing dengan nama mawar, yang akan dia lihat adalah tampilan luar dan harumnya kepribadian diri. Maka nama tidaklah penting baginya. Cocor bebek adalah tanaman yang sangat berguna. Banyak bermanfaat untuk kesehatan dan indah pula dipandang mata. Tapi, jika tinggal tersedia dua saja pilihan nama di dunia ini untuk anakmu, nama mana yang akan kaupilih? Mawar, atau cocor bebek? Pilihan yang sulit kah?

#2 Judul: Membaca ulang cerita anak 'Peter Pan'
Buku sumber inspirasi: Dongeng Klasik Sepanjang Masa 'Peter Pan'

Peter Pan berkisah tentang anak yang bisa terbang yang berpetualang dengan Tinkerbell, Wendy dan dua adiknya di negeri antah berantah Neverland melawan para bajak laut. Dulu aku memandang ini sebagai kisah anak-anak belaka. Sekarang sebagai orangtua, aku merasa ada sesuatu yang lain. Diceritakan bahwa orangtua Wendy dan kedua adiknya melihat mereka terbang di tengah malam dibawa oleh Peter Pan. Tidakkah perasaan orangtua itu hancur melihat anak-anaknya pergi meninggalkan mereka?

Lalu tentang rasa iri Tinkerbell yang membuat anak-anak yang hilang memanah Wendy. Hmmm... rasa iri yang sangat besar ya. Apakah rasa iri ini sedemikian wajar dirasakan sehingga dapat membuat Tinkerbell membuat 'plot' seperti itu?

#3 Judul: Never Ending Momwar
Buku : Mommylicious

'Tidak ada istilah ASI yang ngga cukup. Makanya Allah perintahkan kita untuk menyusui sampai dua tahun. Kitanya saja yang harus berusaha lebih keras," ujar seorang ibu kepada Mama Rina. Rina adalah pengarang buku Mommylicious, dia juga teman saya. 
Ah, apakah karena teman, jadi saya lebih bisa memahami perasaannya. Saja juga merasa marah saat membaca ini. Saya merasakan pedih dan sakit hati Rina. Ibu itu tidak tahu perjuangan Rina. Aku, mampu memberi ASI ekslusif untuk anak-anakku, aku mampu menyusui mereka hingga dua tahun. Tapi aku tak akan 'sembarang' bicara demi ego pribadi walau atas ketidaktahuan. Think before you speak!

#4 Judul: Kemana Takdir kan Membawamu?
Buku: Petualangan Dannie si Benih Kecil

Dannie di benih dandelion kecil terbang dibawa angin. Petualangan yang sangat seru! pikirnya. Tidak ada rasa takut meski Awan berkata, bahwa mungkin saja dia akan jatuh di tanah yang tandus dan mati. Di hatinya terselip doa atas pikiran yang positif, 'Semoga aku jatuh di tanah yang subur'. Semesta mendukung dan Dannie jatuh di padang yang subur dengan hujan yang cukup. Dannie tumbuh dewasa dan benih-benih kecil tumbuh darinya. 'Terbanglah anak-anakku, bersiaplah menghadapi takdirnu!' ucap Dannie!
Bagaimana denganku? Aku yang dibekali kaki, tangan dan akal, yang mampu melawan angin... siapkah menghadapi takdirku?

Seperti dilihat dari empat contoh tulisanku, aku mengambil tiga buku anak dan satu buku semi-parenting untuk bahan referensiku. Sebenarnya, koleksi bukuku tersebar di rumah orantua dan rumah kakak-kakakku, jadi pilihan buku di rumahku terbatas. Betewe, dari persentasenya, terlihat ya aku lebih suka cerita anak daripada genre cerita lainnya hehehe...

Tadi aku bilang, referensi penting untuk tulisan non-fiksi, lalu apakah tulisan fiksi tidak memerlukan referensi? Tentu saja perlu. Teh Rena mengatakan bahwa fiksi memerlukan referensi dan literatur pendukung untuk membuat cerita fiksi tidak kehilangan logikanya.

Referensi juga membuat tulisan kita lebih kaya. Lebih banyak membaca akan membuat tulisan kita lebih berisi. Kosa kata kita akan lebih bervariasi. Sudut pandang kita lebih luas. Hal ini secara langsung menyatakan bahwa kalau mau menulis, ya harus banyak membaca! Ini adalah sesuatu hal yang mutlak dalam dunia kepenulisan.

Pada praktiknya nanti, apalagi jika kita mau menulis novel dengan tingkat keruwetan yang tinggi, referensi tidak hanya terbatas pada buku saja. Kita bisa mengandalkan mesin pencari google, gmaps bahkan street view-nya untuk mendapatkan bayangan serealistis mungkin tentang situasi atau latar tempat terjadinya cerita kita.

Ah ya, tantangan minggu kedua ini masih harus ditulis dalam batas waktu tiga menit saja, dan masih harus disetor paling telat jam 10.00 pagi. Di minggu kedua ini, sudah tidak ada lagi keluh kesah tentang betapa paginya kami harus menyetor tugas. Semua peserta insyaaAllah sudah terdobrak mental block-nya :)

Tuesday, March 20, 2018

Tentang Belajar Menulis: #2 Tiga Menit Menulis Spontan

Tentang Belajar Menulis: #2 Tiga Menit Menulis Spontan -- Di tulisanku yang pertama, aku sudah memperkenalkan metode tiga menit menulis spontan dari Teh Rena Puspa, untuk mendobrak mental block 'aku tidak bisa menulis'.

Di tulisan kedua ini, aku akan mencoba membahas sedikit lebih dalam tentang metode tiga menit menulis spontan ini.

Minggu pertama Training Online Menulis bersama Teh Rena Puspa dan Penerbit Ihsan Media diisi dengan empat hari tantangan untuk menyetorkan satu tulisan setiap harinya, yang hanya boleh ditulis dengan spontan selama tiga menit saja. Tidak ada peraturan lain yang ribet kok, hanya saja tulisan sudah harus masuk ke email penerbit paling telat jam 10.00 pagi. Hahaha... ini sudah bikin emak-emak agak ribut dan tawar menawar pun terjadilah. Ya maklumlah ya, kalau ngga nawar bukan emak-emak dong :D

Thursday, March 15, 2018

Tentang Belajar Menulis: #1 Meruntuhkan Mental Block


Tentang Belajar Menulis: #1 Meruntuhkan Mental Block -- Menjadi penulis sebenarnya bukan cita-citaku. Bukan cita-cita masa kecil, maksudku. Seperti anak-anak lain, aku dulu ingin jadi dokter, pilot atau astronaut.

Aku berhenti bercita-cita jadi dokter saat aku sadar, mungkin di SMP, bahwa aku takut darah dan takut menghadapi mayat. Padahal duluuu itu aku pengin jadi dokter forensik hahaha... begimane sih... Ya dokter forensik itu tampak keren di film dan novel detektif, dan peranannya penting dalam memecahkan misteri pembunuhan. Tapi mereka seringkali bekerja sendirian, hanya ditemani si mayat yang akan diobrak-abrik tubuhnya dan mayat-mayat lain dalam kotak-kotak penyimpanan di ruangan dingin itu. Bagaimana kalau mereka tiba-tiba hidup! Hiiii....

Aku juga berhenti berkeinginan jadi pilot dan astronaut saat gigiku mulai bolong hahaha... Lalu aku punya keinginan jadi duta besar, tapi hapalan IPS ku ngga banget deh wkwkwk... Saat SMP juga aku mulai menyadari kalau aku suka pelajaran Bahasa Inggris. Lalu aku ingin jadi tour guide.

Yah, ada suatu fase dalam hidupku saat aku 'terjerumus' dalam dunia kimia. Terjerumus itu kesannya tidak disengaja ya, dan saat sudah sadar seharusnya cepat-cepat dong naik menyelamatkan diri dari lubang nestapa. Tapi aku terjerumus cukup lama, sekitar 20 tahun hehehe... Menyesal? Tidak juga. Dari situ aku mendapatkan suami, keluargaku sekarang dan pekerjaan yang cukup membantu kehidupan kami selama kurang lebih 12 tahun.

Selama aku belajar di sekolah tingkat atas, kuliah dan bekerja, aku banyak mendapat kesempatan mengasah kemampuan bahasa Inggrisku secara non-formal. Secara sadar, aku mulai berpikir bahwa mungkin ada bidang lain di luar sana yang dapat menampung kemampuanku ini. Lalu aku mulai merambah dunia penerjemahan. Ternyata asyik juga, dan berbayar pula hehehe...

Berbarengan dengan perkenalanku dengan dunia alih bahasa, aku juga mulai ngeblog. Secara otomatis, dunia kepenulisan mulai mengisi hari-hariku. Katanya, kalau suka membaca biasanya suka menulis. Atau, kalau mau menulis harus suka membaca. Aku merasa punya modal dalam hal membaca, karena aku suka membaca dari kecil, meskipun sejak punya tiga anak aku sudah jarang bisa berbagi waktu dengan buku.

Menulis itu gampang. Hanya tinggal duduk dan mengetik. Iya kah?

Ternyata tidak seperti itu urusannya denganku. Seringkali aku merasa kesulitan. Apa saja sih hambatanku dalam menulis?

Dua hal inilah yang menjadi hambatan terbesarku:
1. Tidak dapat ide.
2. Tidak ada waktu.

Masalahnya, benarkah kedua hal ini memang hambatan, atau hanya mental block saja? Alias sesuatu yang hanya ada di pikiran? Nah, saat aku mengikuti kelas menulis daring Training Online Menulis bersama Teh Rena Puspa dan Penerbit Ihsan Media, aku diajarkan untuk mendobrak mental block ini. Bagaimana caranya?

Caranya unik dan asyik! Selama satu minggu, 4 hari tepatnya, kami -- aku dan 49 teman lainnya -- diwajibkan menyetor satu tulisan per hari, yang hanya boleh ditulis selama tiga menit saja. Tulisan harus spontan, tentang apa saja yang terlintas di kepala. Tidak usah memikirkan tata bahasa, typo atau logika dulu, yang penting nulis!

Sounds unbelievable? At first it was! Apa coba yang bisa ditulis selama 3 menit? Tapi setelah kucoba, guess what? Ternyata ada baaannyaaaakkk sekali ide di kepala yang dapat dituangkan, sehingga rasanya tiga menit itu kurang!

Kalian ngga percaya? Aku kasih contoh ya. Misalnya saja nih, kalau kalian adalah emak-emak macam aku, coba deh jalan ke dapur. Lihat kompor, pikirkan apa yang kalian lakukan dengan kompor itu pagi ini? Masak apa tadi? Apa ada insiden atau kejadian khusus hari ini dengan kompor itu? Nah, itu saja sudah bisa jadi satu paragraf lho. Ah, cuma satu paragraf... Eitss! Jangan remehkan satu paragraf ya, karena satu novel itu diawali oleh satu paragraf dulu, bahkan mungkin satu kata saja!

Ide itu ada di sekitar kita. Bertebaran di mana-mana, jika saja kita mau meluangkan waktu sejenak untuk membuka pikiran dan membiarkannya masuk.

Latihan menulis spontan selama tiga menit setiap hari juga menyadarkanku tentang betapa berharganya waktu yang selama ini kuanggap tidak ada. Ya, sebagai ibu dengan bayi berusia 21 bulan, aku sering beralasan bahwa waktuku habis untuk menemani si kecil. Padahal, waktu luangku sangat banyak! Sebagai contoh saja, dulu saat Defai tidur, aku sering menghabiskan waktu dengan browsing ngga jelas dan lihat-lihat IG lucu tanpa tujuan. Niat awal sih refreshing, eh bablas terus sampai Defai terbangun lagi. Padahal jika dalam waktu tiga menit saja aku sudah bisa menulis satu paragraf, coba hitung berapa banyak yang bisa aku hasilkan jika aku mau fokus menulis selama 30 menit saja. Dan waktu luangku setiap harinya ya pasti lebih dari 30 menit! Dududuhh... berapa banyak waktu luang yang sudah kubuang sia-sia selama ini...

Teh Rena juga memberikan masukan bahwa waktu terbaik untuk menulis adalah di dini hari sebelum masuk waktu subuh. Ini masuk akal, karena saat itu otak masih segar, belum ada distraksi -- asal saja Defai belum ikutan bangun juga hehehe...

Aku sih fleksibel dalam soal waktu, asal tidak mengganggu waktuku bersama Defai saat dia terbangun. InsyaaAllah aku sudah membuat komitmen untuk sebisa mungkin tidak berada di depan laptop dan handphone saat bersama Defai. Lagipula, Defai tidak mengizinkan. Dia memperbolehkanku masak di dapur, atau lama di depan mesin cuci atau ke halaman untuk menjemur baju, tapi langsung rewel begitu aku duduk di depan laptop. Tanganku langsung ditarik-tarik. Defai tidak mau diduakan dengan gadget, Buuunn! ^^

Nah, ini adalah empat tulisanku selama empat hari tantangan tiga menit menulis spontan:

Tulisan 1:

Tangannya memeluk Kiara erat. Masih terasa betapa napas Kiara terengah sisa tangisnya tadi, tapi perlahan mulai bertambah tenang. Ani masih mendekap erat. Pikirannya melayang tak keruan. Ia jatuh terduduk. Separuh tak menyangka bahwa dirinya mampu berbuat seperti tadi. Perlahan dekapannya meregang. Diletakkannya putri yang katanya, kesayangannya itu, perlahan di buaian. Perlahan sekali. Seperti meletakkan berlian pusaka keluarga. 

Tulisan 2:

Tanganku menyingkap tirai jendela. Malam begitu gelap, birunya seperti batu safir. Kaca jendela terasa dingin, kontras dengan pengapnya hatiku. Aku mendorong bingkai jendela dan semilir angin malam menggelitik menggodaku untuk membuka jendela lebih lebar lagi. Jangan buka jendela malam-malam, kata ibuku, angin malam jahat. Tapi mana mungkin angin malam sepoi-sepoi ini bisa jahat. Semerbak bau tanah basah menyergap hidungku.

Tulisan 3:

Judul: A day in a life of a translator mom

Tangan-tangan kecilnya menjulur ingin mengetuk-ngetuk keyboard juga. Pikiranku berkejaran menerjemahkan kata-kata di layar, sementara bibir bersenandung menyanyikan lagu untuk menenangkannya. Aku pasti bisa bekerja lebih cepat dengan dua tangan, tapi tangan kiriku sudah cukup kaku mendekapnya selama satu jam ini. Hhhh... dia sedang sedikit demam dan ingin selalu kugendong, sementara deadline di depan mata. Mom... is a multitasking job, no kidding! 

Tulisan 4:

Judul: Anak

Mengapa mereka melakukannya begitu rupa? Mengapa mereka mau melakukannya, berkorban waktu, tenaga, uang dan emosi untuk mendapatkan anak? Sebagian bahkan menempuh cara yang tidak masuk akal. Sebagian mengorbankan pernikahan mereka. Apakah anak sedemikian berharga, lebih berharga dari rasa cinta pada keluarga besar, kepada pasangan? Apakah anak sesuatu yang absolut? Anak... sesuatu yang tidak diketahui pasti masa depannya, diperjuangkan keberadaannya dengan mengorbankan segalanya...


Tulisanku selanjutnya tentang belajar menulis, di blogpost berikutnya yaaa...




Monday, March 12, 2018

Segarnya Pertemanan Asinan Blogger, Bangkitkan Potensi Diri


Segarnya Pertemanan Asinan Blogger, Bangkitkan Potensi Diri -- Komunitas, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling berinteraksi di dalamnya.

Kalau aku modif sedikit, menurutku komunitas adalah sekelompok orang yang berkumpul bersama secara sadar dan sepakat untuk saling memberi dan mendapat manfaat dari kebersamaan mereka, berdasarkan kesamaan ide, minat atau hal lainnya antar sesama anggota komunitas.

Iya harus sadar dan sepakat, karena kalau tidak maka rasa nyaman berada dalam komunitas tersebut tidak akan ada. Yang terasa hanya keterpaksaan. Dan apa gunanya komunitas? Apa gunanya berkumpul bersama? Untuk memberi dan mendapat manfaat. Lho? Kok asas manfaat banget sih? Tidak apa-apa... karena sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya, apalagi kalau bisa sampai memberi manfaat bagi lingkungan yang lebih luas. Itu hebat sekali. Jadi asas manfaat itu tidak apa-apa, asal kita juga memberi, bukan maunya hanya menerima saja. 

Friday, March 9, 2018

Yummy and Crunchy New York Style Premium Banana Cheese Cake


Selalu ada yang baru dari Bika Talubi. Kali ini, toko pusat oleh-oleh Bogor ini menelurkan produk premium yaitu New York Style PREMIUM Banana Cheese Cake.

Mengikuti kesuksesan pendahulunya yaitu New York Style Crunchy Banana Cheese Cake yang unik karena berbentuk pisang dan berlapis pastry crunchy di luarnya, di bulan Februari 2018 Bika Talubi meluncurkan versi premiumnya yang lebih besar dan lebih nikmat.

Masih menggunakan pisang asli sebagai bahan bakunya, New York Style Premium Banana Cheese Cake hadir dengan bentuk segitiga yang cantik. Ukurannya yang relatif besar membuatnya cocok jadi hantaran atau dinikmati bersama keluarga.


Thursday, March 8, 2018

Berbagi Uri-cran Berbagi Solusi Alami Atasi Anyang-anyangan


Berbagi Uri-cran, Berbagi Solusi Alami Atasi Anyang-anyangan -- Semua yang pernah merasakan sakit saat buang air kecil pasti sepakat bahwa ini adalah sakit yang sangat mengganggu. Jadi saat kakak perempuanku mengeluhkan sakit ini, ditambah dengan merasa ingin buang air kecil tapi tidak terasa tuntas, aku tahu dia sedang mengalami anyang-anyangan dan langsung memberinya Uri-cran.

Eh, apa sih anyang-anyangan itu? Dan apa hubungannya dengan Uri-cran?

Tuesday, March 6, 2018

Penantian


20.03

Sang suami menelpon istrinya. Suaranya terdengar tak biasa. Kabar yang dibawanya memang tidak menggembirakan. Mobil mogok. Mesin sudah diperiksa, tapi kendaraan warisan itu tak juga mau bergerak. Mungkin memang sudah uzur. Tapi janganlah merajuk di waktu ini. Jangan di jalan ini. 

Di ujung lain telepon, tak urung sang istri ikut merasa risau. Malam sudah pasti gelap. Di mana suamiku bilang tadi? Ah, jalanan itu kan sepi sekali! Selepas kompleks perumahan itu, ada beberapa kilometer yang sisi kiri dan kanannya hanya pepohonan besar dan ilalang merapat, sebelum tiba kembali ke jalanan ramai. Tepat di tengah sepi itulah suaminya sekarang. Sang istri menengok ke jendela. Hujan masih merinai, gerimis seharusnya syahdu. Tapi tak terasa seperti itu kali ini.