Saturday, November 25, 2023

BRI dan UMi, Sinergi demi Masa Depan Negeri


Dia seorang penjual gorengan. Kita sebut saja namanya Mang Sarman (bukan nama sebenarnya). Aku tidak tahu pasti sudah berapa lama Mang Sarman sudah berjualan gorengan, tetapi seingatku, sejak SMP aku sudah sering mencegatnya jika dia lewat depan rumah. Kroketnya enak, isi bihun dan sedikit irisan wortel saja, tetapi rasanya sangat pas di lidah. Bala-balanya gurih tetapi tidak terlalu gurih. Mantap banget dimakan saat hangat, ditemani sebuah cabe rawit.

Dulu Mang Sarman masih gagah, berjalan keliling kampung ibuku sambil memanggul pikulan gorengan. Kamu masih ingat tukang gorengan yang memikul bawaannya? Di satu pikulan ada penggorengan dengan kompor di bawahnya. Di pikulan lain ada tempat membuat adonan, juga laci tempat uang. Zaman duluuu, ada banyak penjual yang menjajakan dagangannya dengan cara dipikul, berjalan dari satu kampung ke kampung lain. Tukang bubur ayam, tukang soto santan, tukang gorengan, dulu semua dipikul.

Kembali ke masa kini. Waktu itu aku sedang mengunjungi Mama, silaturahim mingguan, seperti biasanya. Saat melihat seorang penjual gorengan sedang melayani pembeli di depan rumah Mama, aku berusaha mengingat-ingat. Aku bertanya pada Mama untuk memastikan dan benar saja, itu Mang Sarman.

Kata Mama, Mang Sarman masih suka lewat sini, tetapi sudah jarang banget. Jadi saat aku melihatnya, kuanggap itu sebagai rezeki. Aku menghampirinya.

Mang Sarman sudah renta. Tentu saja, kini sudah sekian puluh tahun berlalu dari masa aku SMP. Namun, Mang Sarman masih tetap dengan ‘gayanya’. Memanggul pikulan gorengan.

Saturday, November 4, 2023

Kreativitas dan Kepedulian Muhammad Aripin dalam Pemberdayaan Kaum Marjinal


“Bunda, punya botol plastik bekas?”

Aku berhenti mengetik dan menoleh ke Defai yang berdiri di sebelah meja komputer. “Ada di atas,” jawabku sambil mengarahkan dagu ke tangga. Aku menyimpan barang-barang bekas yang sudah kubersihkan untuk dikirim ke Bank Sampah di gudang di lantai dua.

Defai mengangguk. Di tengah tangga, dia berseru lagi. “Ada tutupnya? Sama sedotan bekas?”

“Ada di atas juga!” Aku balas berseru sambil kembali mengetik.

Tak lama, putri kecilku yang berusia 7 tahun itu sudah berdiri di sampingku. “Sekarang Defai perlu lidi dan lem,” ucapnya serius.

Aku mengerutkan kening. “Ade mau bikin apa?”