Sunday, October 15, 2023

Belajar pada Heri Chandra Santoso, Menghidupkan Sastra dari Desa Boja ke Indonesia


Aku menghela napas panjang saat melihat anak-anakku sibuk masing-masing. Anak pertama main game di ponselnya, anak kedua main game di komputer dan yang ketiga nonton video mukbang di tablet. Ini memang hari Minggu, tetapi ….

“Apa ngga ada kegiatan lain selain main game atau nonton youtube?” tanyaku jengkel.

Tidak ada jawaban pasti, ketiga anakku hanya menggumam tak jelas dengan mata tetap tertancap di layar.

“Udah berapa lama main?” tanyaku lagi.

Kali ini semua mulai dengan enggan menatapku, lalu pelan-pelan meringis. Itu artinya sudah lebih dari waktu yang diizinkan.

Aku mengangkat alis, lalu menjatuhkan vonis. “Yak! Kalau gitu semua udahan nontonnya, yaa!”

Sebagaimana bisa diduga, suara-suara protes langsung bermunculan. Aku bergeming dan akhirnya semua meninggalkan gawainya.

“Sekarang ngapain?” tanya si bungsu. Dia ikut-ikutan aku menyilangkan tangan di dada.

“Kan bisa baca buku,” jawabku cepat. “Bunda punya banyaaak buku!” Aku menunjuk ke arah rak-rak buku di sebelah komputer sambil tersenyum lebar.

Ketiga anakku diam saja. Tiba-tiba dari luar pagar terdengar teriakan anak tetangga. Si bungsu langsung melesat pergi memenuhi ajakan main itu. Aku mengalihkan pandangan ke dua anakku yang tersisa. Yang satu menguap lebar-lebar lalu mengundurkan diri ke kamar, bilang mau tidur siang. Yang satu mendadak teringat punya janji dengan teman di blok lain.

Aku menghela napas. Ini bukan kali pertama anak-anakku menghindari buku. Aku menghampiri rak. Penuh dengan novel-novel favoritku. Lima Sekawan, Trio Detektif, novel-novel Agatha Christie, ada pula genre-genre lain. Semua seru, pikirku sambil menatap mereka penuh sayang. Kenapa mereka bisa tidak suka, ya? Aku mulai mengenal novel sejak kelas 3 SD, dan sejak itu tidak bisa lepas dari kegiatan membaca. Kenapa anak-anakku tidak seperti aku?

Aku beralih ke komputer yang ditinggalkan oleh anakku, lalu membuka berkas kosong Word. Ada tulisan yang harus kubuat, tentang salah satu penerima apresiasi SATU Indonesia Awards, di tahun 2011. Kegiatan yang digagas oleh PT Astra International Tbk. ini merupakan wujud penghargaan Astra untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok, yang memiliki kepeloporan dan melakukan perubahan untuk berbagi dengan masyarakat sekitar di bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi, serta satu kategori Kelompok yang mewakili lima bidang tersebut.

Pemenang yang ceritanya akan kutulis adalah Heri Chandra Santoso, dengan titel kegiatan “Menghidupkan Sastra dari Desa Boja”. Dia seorang pemuda dari Desa Boja, Kendal, Jawa Tengah yang memperkenalkan sastra pada penduduk desa tempatnya tinggal.

Pertama kali aku membaca tentang profilnya di situs satu-indonesia.com., rasa ingin tahuku langsung terpantik. Mungkin karena dunianya dekat dengan duniaku yang banyak bersinggungan dengan literasi. Aku suka membaca sejak kecil, dan kegemaranku itu mendorongku untuk menulis. Sampai tahun 2023 ini, aku sudah menelurkan belasan antologi dan tiga buku anak solo.

Ini membuatku lebih merenungkan anak-anakku. Jangankan menulis cerita pendek atau buku, membaca saja sulit. Oke, oke, aku tahu bahwa kita tak boleh membanding-bandingkan antara aku dan anak-anakku. Oke, mungkin memang kami punya hobi yang berbeda. Namun, membaca bukan masalah minat dan bakat. Membaca bukan masalah keinginan. Membaca seharusnya menjadi kebutuhan. Buku adalah jendela dunia dan membaca adalah cara membuka jendela tersebut. Membaca akan membuka wawasan, mencerdaskan akal dan hati.

Meski, aku agak mengerutkan kening juga saat pertama kali membaca judul kegiatan Heri. Dia menyebut-nyebut ‘sastra’. Jujur, meski aku suka membaca dan (bolehlah) menyebut diriku sebagai penulis, tidak bisa bilang aku suka ‘sastra’. Menurutku, karya sastra is another level altogether. Membaca karya sastra itu ‘berat’.

Padahal, apa sih, sastra itu?

Sastra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari), sedangkan mengutip pendapat beberapa ahli dan penulis dari situs badanbahasa.kemdikbud.go.id karya sastra adalah hasil karya yang mengisahkan tentang kehidupan, disampaikan menggunakan bahasa yang indah, dan memiliki efek positif bagi kehidupan manusia.

Nah, mengenai bahasa yang bukan bahasa sehari-hari dan indah ini, menempatkan  sastra di tempat tersendiri dalam strata karya-karya bahasa dan kepenulisan.

Sebagai lulusan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Heri pasti tahu seluk-beluk ujung-pangkal sastra. Dia juga tahu bahwa sebelum mengenal sastra, orang harus lebih dulu suka membaca. Di sini lah aku belajar banyak tentang betapa gigihnya perjuangan pemuda dari desa perkebunan teh ini dalam berusaha memperkenalkan kegiatan membaca kepada sekitarnya.

Kenapa usaha Heri sangat gigih?

Kita bisa telusuri dari setting tempat terjadinya kisah pemuda ini. Desa Boja adalah desa pelosok yang berada di ketinggian sekitar 2.050 mdpl di wilayah Gunung Ungaran, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Kebanyakan penduduknya bekerja sebagai petani teh, pedagang kecil, atau buruh pabrik. Pendapatan yang pas-pasan membuat mereka sulit menyisihkan uang demi kebutuhan literasi. Jangankan membeli buku untuk kebutuhan rekreasi otak dan hati, untuk keperluan sekolah pun sulit.

Bandingkan dengan kondisi di perkotaan (aka. tempatku tinggal) yang memudahkan penduduknya dalam mencari akses untuk membaca buku. Di kota ada banyak toko buku, perpustakaan, taman bacaan, bahkan mungkin tetangga yang punya buku untuk dipinjam. Di kota, akses terhadap buku non-fisik juga lebih mudah.

Kondisi Desa Boja yang sulit ini justru membangkitkan semangat Heri untuk memperkenalkan buku dan kegiatan membaca kepada warga desa. Dia memulai usahanya dengan mendirikan Pondok Maos Guyub pada tahun 2006. Dia dibantu oleh sahabatnya Sigit yang berdomisili di Swiss. Sigit meminjamkan rumahnya yang sudah lama tidak ditinggali sebagai tempat untuk Pondok Maos, perpustakaan kecil sekaligus taman bacaan merangkap padepokan sastra. Koleksi buku milik Sigit yang kebanyakan adalah buku-buku sastra, juga dipinjamkan demi Pondok Maos. Atensi warga desa sungguh bagus. Dalam sehari, tak kurang 40-50 orang mendatangi Pondok Maos untuk membaca.

Kok, bisa ya, minat baca warga Desa Boja begitu tinggi? Senang sekali pastinya Heri, melihat usahanya disambut baik. Aku menatap murung pada rak-rak bukuku. Mereka jarang dilirik apalagi disentuh oleh anak-anak. Apa yang salah?

Bahkan dengan suksesnya Pondok Maos menarik minat warga desa, Heri dan Sigit belum puas. Mereka ingin mengadakan ruang untuk saling sapa, belajar dan berbagi pengalaman tentang sastra. Heri dan Sigit kemudian berinovasi, melakukan Sastra Sepeda. Sastra diperkenalkan kepada warga dengan berkeliling kampung mengendarai sepeda. Dengan demikian, warga yang tidak datang ke Pondok Maos pun terpapar oleh sastra.

Cara yang sangat unik! Dan menarik! Aku membayangkan, seorang pemuda yang mengendarai sepeda menyusuri jalan-jalan desa dengan membawa buku di keranjang atau mungkin di dalam ransel yang dicangklong di bahu, lalu berhenti sejenak di tepi rerimbunan bambu, dan membacakan buku kepada sekelompok petani yang sedang beristirahat sambil menyantap makan siang … how romantic!

Saking suksesnya Sastra Sepeda—sampai banyak diliput oleh media—ada banyak sumbangan buku berdatangan untuk Pondok Maos. Pada tahun 2008, Heri dan Sigit mengubah perpustakaan kecil alias taman bacaan gratis Pondok Maos Guyub menjadi Komunitas Lereng Medini, sebuah komunitas penikmat dan pencinta sastra.

Nama Medini diambil dari nama perkebunan teh yang letaknya di lereng barat Gunung Ungaran. Medini juga dianggap mewakili Desa Boja yang minat baca warganya sangat besar dan menginspirasi.

Komunitas Lereng Medini mengadakan berbagai acara yang berhubungan dengan sastra seperti bedah karya sastra, musikalisasi puisi, pentas teater, bulan bahasa, dan parade sastra. Acara skala kecil mencakup Reading Group, yaitu klub baca di setiap hari Minggu pagi yang tempatnya berpindah-pindah, Jemuran Puisi di mana lembaran-lembaran kertas berisi puisi dijemur di tali jemuran atau ditempel di pohon dan boleh diambil dan dibaca oleh siapa saja, juga Wakul Pustaka yaitu menaruh bakul-bakul anyaman bambu berisi buku di warung-warung seputaran Desa Boja.

Sungguh ide-ide yang out of the box! Aku melirik rak-rak bukuku lagi. Apa yang sudah kupikirkan dan kulakukan untuk meningkatkan minat baca anak-anakku?

Acara skala besar yang pernah dilakukan Lereng Medini mencakup diskusi sastra Kopi Puisi dan Kita di salah satu kafe di Boja, serta acara unggulan yaitu Kemah Sastra.

Kemah Sastra adalah acara yang dibuat dengan semangat mendekatkan para penikmat sastra dengan para maestro sastra. Minat terhadap kegiatan yang sudah digelar empat kali ini sangat luar biasa. Ratusan orang hadir di setiap acaranya dan berdatangan dari tempat yang jauh.

Apakah aku pernah mengajak anak-anak ke acara bedah buku? Atau pameran buku? Ah, coba hitung saja, berapa kali dalam sebulan aku mengajak anak-anak ke toko buku? Atau jika toko buku terlalu mahal, apa aku sering mengajak mereka ke lapak buku bekas?

Makin banyak yang kubaca tentang sepak terjang Heri Chandra Santoso, rasa-rasanya makin sering aku tertampar. Memang dedikasi yang berasa dari hati beda hasilnya. Lalu apakah keinginanku untuk memperkenalkan buku kepada anak-anakku kurang tulus? Kurasa tidak. Hanya saja, aku harus lebih banyak menggali ide agar rasa cinta baca yang kumiliki bisa ditularkan kepada anak-anak.

Seperti yang sudah kusinggung di atas, membaca buku adalah kebutuhan. Buku adalah jendela dunia dan membaca adalah cara membuka jendela tersebut. Membaca membuka wawasan, mencerdaskan akal dan hati.

Terima kasih Heri Chandra Santoso, dia telah sungguh-sungguh berhasil menghidupkan sastra dari desa terpelosok Boja ke seluruh Indonesia. Lebih-lebih, juga berhasil menumbuhkan inspirasi bagiku tentang kegigihan berjuang demi kecintaan membaca.

***

#HeriChandraSantoso #DesaBoja #Kendal #Sastra #MenghidupkanSastradariDesaBoja #SATUIndonesiaAwards2011 #KitaSATUIndonesia #Astra #AnugerahPewartaAstra2023 #SemangatUntukHariIniDanMasaDepanIndonesia

 

Daftar Pustaka:

Herri Chandra Santoso. Menghidupkan Sastra dari Desa Boja. Diakses 12 Oktober 2023 dari https://www.satu-indonesia.com/satu/satuindonesiaawards/finalis/menghidupkan-sastra-dari-desa-boja/

Thenu, Stefi. 2019. Heri Chandra Santoso, Bertahan di Jalan Kesunyian. Diakses 12 Oktober dari https://www.beritasatu.com/nasional/592122/heri-chandra-santoso-bertahan-di-jalan-kesunyian

Admin Badan Bahasa. 2022. Sastra, Karya, dan Perayaannya. Diakses 12 Oktober 2023 dari https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/berita-detail/3586/sastra-karya-dan-perayaannya

 

No comments:

Post a Comment