Saturday, June 2, 2018

For the Love of Cats


For the Love of Cats -- Pertama kali Fai kecil jongkok di depan kucing kurus yang duduk di luar pagar rumah tetangga sebelah, merentangkan tangan gemuknya untuk meraih hewan berbulu kumal itu, memanggilnya dengan suara ba-ba-ba yang lucu, aku tahu saat itu, bahwa kecenderungan untuk menyukai sesuatu dapat diwariskan.

Fai kecil sangat suka kucing. Tidak heran, karena aku juga suka binatang lucu berkaki empat itu. 

Dulu waktu aku kecil, aku dan kakak perempuanku memelihara seekor kucing kampung yang kami beri nama Honey. Agak kurang pantas sih, karena Honey adalah kucing jantan. Bulunya putih dengan spot-spot abu-abu di sana-sini. 

Mungkin seharusnya kami tidak menamainya Honey. Mungkin gara-gara namanya yang feminin, Honey jadi kurang gahar. Tubuhnya langsing semampai, suaranya kecil dan lembut. Jarang sekali Honey mengeong keras, kecuali saat berhadapan dengan kucing jantan lain. Hanya berhadapan, karena sejurus kemudian Honey akan secepat kilat lari masuk ke dalam rumah dengan ekor terselip di kedua kaki belakangnya, gemetaran bersembunyi di bawah kursi di ruang tamu sementara aku dan kakakku mengusir kucing lawannya dengan sapu ijuk. Kadang dia sampai terkencing-kencing karena ketakutan. Siapa yang membersihkan lantai yang bau pesing tajam itu? Mama.

Honey the loser, kami sangat menyayanginya. Tapi Mama tidak.

Mungkin Mama sedikiiit menyayanginya, karena kami kadang lupa memberi Honey makan, tapi Mama tidak pernah lupa. Mama juga sering menyuruh kami memandikan Honey, tapi kami bilang kalau kucing tidak suka air.

Honey adalah kucing luar rumah, tapi kami sering membawanya ke dalam kamar. Mama sangat tidak setuju. Setiap selesai main perang bantal dan selimut dengan Honey, bulu-bulunya bertebaran di mana-mana, dan bau amis menyeruak di dalam kamar. Siapa yang kemudian mencuci semua sarung bantal, selimut dan seprai itu? Ya Mama, tentu saja.

Bisa dibilang, Honey adalah kucing liar. Pernah sekali waktu, saat ada banyak Miki dan Mini berkeliaran di dapur, kami taruh Honey di dalam rumah. Miki dan Mini tidak keluar dari lubangnya malam itu, tapi Honey mengeong-ngeong keras sepanjang malam meminta keluar. Keesokan malamnya, Miki dan Mini bebas berjalan-jalan lagi di kaki meja makan, karena kami semua hanya bisa tidur dalam suasana sepi.

Kami sayang Honey dan setelah kupikir-pikir sekarang, aneh bahwa aku tidak ingat bagaimana ceritanya Honey sampai tidak lagi bersama kami. Apa Honey mati atau pergi kabur? Aku benar-benar lupa.

Setelah Honey, tidak ada lagi kucing yang benar-benar bisa kami sebut peliharaan kami. Kami tetap suka kucing, tapi mereka hanya datang dan pergi. Kadang kami beri makan kalau mereka mampir ke rumah, tapi jika kucing-kucing itu pergi berhari-hari atau selamanya, kami tidak terlalu memikirkannya.

Aku terus suka pada kucing sampai di satu waktu, aku sudah dewasa dan menikah dan keguguran di kehamilan pertamaku. I was devastated. Usut punya usut, hasil lab menunjukkan bahwa aku pernah mengalami toksoplasmosis. Meski beragam literatur menyatakan bahwa kucing bukan satu-satunya sumber parasit penyebab penyakit ini -- dan bahwa blighted ovum bisa jadi disebabkan oleh banyak faktor lain selain toksoplasmosis -- saat itulah, putus hubungan fisikku dengan kucing.

Aku tidak lagi mengelus setiap kucing yang kutemui. Tidak lagi spontan melemparkan sepotong makanan yang kupegang pada setiap kucing yang lewat di depan mata, agar dia mau mendekat dan kugaruk-garuk lehernya, lalu mendengkur pelan dan menggosokkan badannya ke kakiku. Aku putuskan aku hanya akan menyukai mereka dalam hati saja.

Hingga kemudian Fai kecil berhenti untuk menyapa semua kucing yang ditemuinya setiap kami jalan-jalan keliling kompleks, aku sadar bahwa kecenderungan untuk menyukai sesuatu bisa hadir sendiri secara alami.

Suatu malam sepulang berjalan-jalan dan memarkir mobil, suami meraih tudung mobil yang teronggok di pojok garasi. Lalu dia berseru memanggilku. Ditunjukkannya seekor bayi kucing ginger tabby yang masih terpejam matanya, nyaris tak tampak dalam gulungan tudung mobil.

Fai kecil heboh sekali. Dia mengelilingi kucing mungil itu, tangannya tidak henti berusaha meraih. Aku dan suami kewalahan berusaha menahannya, khawatir Fai kecil malah tidak sengaja melukai bayi kucing itu.

Siapa induk bayi kucing itu? Bayi kucing tidak dapat bertahan hidup tanpa induknya. Untuk dapat selamat melewati hari-hari pertamanya, bayi kucing memerlukan perhatian 24 jam setiap harinya. Dia juga tidak boleh minum susu sapi karena tidak sesuai untuk pencernaannya, apalagi makanan padat. Susu non-alami untuk bayi kucing adalah susu formula khusus, yang harus diberikan dengan alat khusus pula.

Kenapa jadi aku yang senewen memikirkan nasib anak kucing itu? Karena aku paling tidak suka mendengar jeritan melengking anak kucing yang mencari induknya. Suara yang tajam menyayat hati, dari bawah atap rumah, dari rumah kosong di seberang, atau dari balik mesin mobil.

Pernah ada beberapa ekor anak kucing yang ditinggalkan induknya yang tidak bertanggung jawab di pos satpam kosong di ujung gang. Jeritannya sampai ke rumah, terdengar lebih jelas di malam hari. Aku tidak tahan memikirkan betapa laparnya mereka, mengeong terus menunggu sang ibu yang tak kunjung datang. Susu yang kutaruh di piring kecil di dekat kardus beralaskan kain bekas yang kusiapkan untuk mereka, tak tersentuh. Itu susu sapi. Aku tidak mampu beli susu khusus untuk bayi kucing. Saat kusendoki susu sapi itu ke mulut kecil yang lapar itu, mereka tidak sanggup menjilatnya. Aku merasa sangat tidak berdaya. Anak-anak kucing itu akhirnya tidak lagi mengeong di hari ketiga.

Aku tidak mampu membeli susu khusus untuk bayi kucing, maka tetap saja, kularutkan sedikit susu bubuk anakku untuk ginger tabby di depan mataku itu. Aku tak mau anak kucing itu kelaparan. Biarlah dia sakit perut, tapi tidak kelaparan.

Kusiapkan kotak kardus di teras depan, beralaskan handuk bekas dan tidurlah sang ginger tabby bergelung. Fai masih berkeras berusaha memegangnya, namun malam sudah terlalu larut. Kututup pintu depan dan kubujuk Fai untuk tidur.

Besok lagi kita lihat kucing peliharaan Fai, ya, bujukku. Aku mengalah pada perasaan sayangku pada kucing kecil kuning yang masih belum bisa membuka matanya.

Tapi esok paginya, kardus itu telah kosong.




No comments:

Post a Comment