Saturday, June 2, 2018

Kisah Panci Berkilau


"Ma, ada tamu ... ," seruku dari ambang pintu depan.

Aku menatap dua anak kecil yang berdiri dengan malu-malu di teras, mata mereka terpaku ke lantai. Dari kemiripan raut wajah keduanya, aku yakin mereka kakak beradik. Yang laki-laki berusia sekitar 8 tahun, mengenakan baju kaus dan celana pendek biru bergambar Transformer. Si adik, seorang anak perempuan yang usianya mungkin 6 tahunan, mengenakan baju terusan pink bergambar Putri Elsa.  

Pagi itu wajah mereka segar, dengan rambut yang masih basah. Tetapi baju mereka lusuh, membungkus badan-badan yang kurus. Si gadis kecil memegangi sebuah panci berkilau. Panci itu cukup besar. Bukan sembarang panci, aku tahu. Itu panci mulus mahal yang sering kulihat iklannya di televisi.

"Ada apa, sih? Pagi-pagi sudah teriak-teriak," Mama tiba-tiba muncul di belakangku. Aku yang masih memandangi kedua anak itu, tersentak. 

"Ini ada yang nyariin Mama," ucapku sambil berbalik untuk duduk lagi di sofa ruang tamu. Mama menengok ke teras dan sepintas aku mendengar Mama menghela napas. 

Aku baru saja tiba di rumah kemarin malam. Aku kuliah sambil kost di Bandung, dan aku ingin menghabiskan libur akhir pekan yang agak panjang kali ini di Bogor. Sabtu pagi ini aku sedang berselonjoran kaki dengan santai di ruang tamu sambil membaca koran, saat aku mendengar suara salam diucapkan dengan malu-malu dari luar. Dua anak kecil berdiri di luar pagar dan si kakak bertanya, jika Mama ada di rumah. Aku mengangguk, menyuruh mereka masuk lalu memanggil Mama. Tapi kenapa tadi Mama tampak kesal melihat mereka?

Aku duduk di ruang tamu di dalam rumah, tetapi dari sofa ini aku bisa memandang ke luar dengan leluasa, sementara yang di luar tidak bisa memandang ke dalam karena terhalang vitrase yang tergantung di jendela. Aku melihat Mama sedikit membungkukkan badan dan berbicara pelan pada si kakak. Si kakak menjawab sambil menunduk, lalu menunjuk panci yang dipegang oleh adiknya. Si adik menggoyang-goyangkan badan, memeluk panci itu di depan dadanya.

Mama menegakkan badan. Aku bisa melihat ekspresi kesal bertambah di wajah Mama. Aku mendengar Mama berkata 'Tunggu sebentar,' sebelum masuk ke dalam rumah, lalu berjalan ke kamarnya. Tak lama, Mama keluar lagi sambil menggenggam beberapa lembar uang berwarna biru.

Mataku tidak berhenti mengikuti adegan-adegan di depanku. Mama menyerahkan lembaran-lembaran uang itu kepada si kakak. Si kakak menunjuk panci. Mama menggeleng. Masih sedikit mengerutkan kening, Mama menyentuh pundak si kakak, mendorong perlahan seperti mengarahkan mereka untuk pulang. Si kakak tampak ragu-ragu, lalu bibirnya bergerak seperti mengatakan 'Terima kasih, Bu'. Mereka melangkah pergi, dengan si adik berjalan di belakang, masih memeluk panci berkilauan itu.

Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku bangkit dan menghampiri Mama yang masih berdiri di teras, sedikit melamun.

"Ada apa sih, Ma? Siapa anak-anak itu tadi?" tanyaku.

Mama menoleh ke arahku, lalu menghela napas.

"Anak-anak Ceu Iroh," sahut Mama.

Aku menatap Mama dengan pandangan kosong, alis terangkat. Siapa itu Ceu Iroh? Aku tidak terlalu kenal tetangga, tidak seperti Mama. Mama memonyongkan mulutnya.

"Ah kamu mah, dasar ngga gaul," Mama berkata pelan. "Pokoknya Ceu Iroh lah, dia ngontrak di kontrakan Ceu Iis."

"Oh, iya lah," sahutku.

Pantas saja aku tak kenal Ceu Iroh, bukan orang asli sini, toh. Aku sih kenal Ceu Iis, pemilik toko kelontong yang cukup besar di kampung sini, dan punya kontrakan beberapa pintu.

Mama duduk di salah satu kursi rotan di teras. Aku ikut duduk di sebelahnya.

"Mama sebal sama Ceu Iroh," ucap Mama. "Dia tuh udah beberapa kali pinjam uang sama Mama. Awalnya pinjam ke kas RT, ya Mama bilang dong, ngga bisa. Itu kan uang rakyat. Eh, dia bilang udah dapat izin dari Bu RT."

Mama memang bendahara RT. Aku juga pernah beberapa kali melihat Mama kedatangan tamu terkait kegiatan RT di lingkungan kami.

"Jadi ya udah, dikasih deh tuh, dari kas RT," lanjut Mama. "Tapi tiap kali ditagih, susahnya minta ampun! Ngga pernah ada di rumah. Kalaupun ada, ngga mau keluar rumah, anak-anaknya aja yang disuruh keluar," Mama menggelengkan kepala.

"Terus?"

"Yang kas RT sih akhirnya dilunasi juga. Habis itu, ngga lagi-lagi dipinjami uang kas RT. Tapi jadinya dia malah pinjam uang ke Mama," ujar Mama. "Yang paling bikin sebal tuh ya, dia suruh anak-anaknya yang datang untuk pinjam uang. Mama tuh gemas, kok tega amat sih dia ke anak-anaknya!" Suara Mama campuran antara gemas dan kesal.

"Terus panci itu untuk apa?" tanyaku, teringat panci mahal yang dibawa anak perempuan tadi.

"Nah, itu! Ceu Iroh tuh suka sekali beli barang-barang mahal seperti itu. Kalau ketemu di warung nih ya, dia tuh suka cerita kalau dia ngga tahan banget lihat iklan-iklan di televisi. Korban iklan! Bisa beli panci bagus tapi anak ngga keurus!" dengus Mama. "Tadi si Aa bilang kalau panci itu boleh ditaruh dulu di sini untuk jadi jaminan. Tapi Mama ngga mau."

"Oh? Ceu Iroh mau pinjam uang dan menjaminkan pancinya?" Aku hampir tak mempercayai pendengaranku. Mamaku sudah hampir seperti pegadaian saja.

"Ah, bukan untuk yang pertama kalinya," tukas Mama. "Bu Anwar malah ketitipan blender, tapi sampai sekarang ngga ditebus juga tuh."

Aku mengangguk-angguk. Aku tahu Bu Anwar, beliau tetangga seberang rumah Mama.

"Tapi Mama tadi pinjamkan uang juga ke si Aa." Aku jadi ikut memanggil Aa pada anak laki-laki Ceu Iroh.

"Itu bukan pinjaman. Itu sih ngasih saja. Sedekah lah. Ngga perlu diganti," ucap Mama pelan. "Bagaimana lagi atuh, kasihan juga anak-anak Ceu Iroh." Mama mendesah.

Aku tersenyum. Gemasnya Mama pada tingkah laku Ceu Iroh tidak bisa menutupi rasa ibanya pada anak-anak Ceu Iroh. Anak-anak yang masih polos, belum tahu apa-apa tentang kerumitan dunia orang dewasa.

"Tapi tadi pancinya itu bagus lho, Ma," godaku. "Masih baru juga kelihatannya."

Aku melihat Mama tersenyum kecil, sekejap matanya berkilat. Aku tahu ibuku itu suka peralatan dapur. Aku mencolek lengan Mama yang terjulur di atas lengan kursi rotan. Mama ganti mencubit lenganku.

"Papa-mu bisa ribut kalau Mama jadi ambil panci tadi. Cicilan oven Mama saja belum selesai," Mama tertawa lepas.


#tantanganjuniforsen
#tulisanhumanis

No comments:

Post a Comment